Radio siaran di negeri ini telah kehilangan potensi alami sebagai media
sosial yang paling merakyat. Radio juga menjadi media advertising yang
efektif dan ujung tombak industri musik. Fungsi atau peran-peran
tersebut sebaiknya direbut kembali dengan kekuatan kolaboratif. Negara
besar seperti Prancis saat ini masih menempatkan radio sebagai media
paling dipercaya dibanding TV dan internet.
Menurut Asosiasi
Perusahaan Periklanan Indonesia, belanja iklan 2013 diperkirakan
mencapai 113 triliun rupiah atau meningkat 18 persen dibanding realisasi
2012 senilai 92 triliun rupiah. Pendapatan radio dunia tujuh persen
dari total iklan mondial. Untuk itu, Indonesia perlu meningkatkan
pendapatannya agar setidaknya mencapai tujuh persen dari belanja iklan
nasional.
Sementara itu, belanja iklan Amerika periode 2009-2015
dari e-Marketer rata-rata mencapai 10 persen dari belanja nasional. Di
sisi lain, menurut AC Nielsen, pendapatan tahun 2011 Indonesia hanya 0,9
persen. Industri radio negeri ini perlu mengakselerasi lebih tinggi
lagi pendapatannya. Kalau mau sama atau mendekati dengan Amerika,
berarti ada peluang meningkatkan 10 kali lipat.
Bisnis radio
dari aspek advertising (ads) dari on air menurut e-Marketer, pada 2011
sekitar 0,9 persen dari total belanja iklan nasional sekitar 71,5
triliun rupiah, sedangkan pada 2012, persentasenya sama dari total dana
iklan 90 triliun rupiah. Tahun ini ada proyeksi iklan 113 triliun
rupiah. Andai insan radio tidak proaktif, diperkirakan penghasilannya
tidak akan beranjak.
Radio harus belajar dari Google yang mampu
meraup pendapatan 50 miliar dollar AS. Begitu pula saham Google melonjak
lebih dari lima persen karena mendominasi pasar iklan digital AS. Untuk
itu, penting dicari inovasi dari sekadar model bisnis konvensional dari
musik dan ads, selain on air. Harus ditemukan the winning formula agar
mampu meningkatkan pendapatan.
Jadi, formulanya tidak boleh
biasabiasa saja, mesti spektakauler. Sebab kondisi psikososial
masyarakat saat ini selalu menunggu kejutan-kejutan. Formula yang tepat
bersifat cheaper than free yang bisa "mengalahkan" ilegal musik. Formula
tersebut harus memiliki aspek customer response index (CRI) yang bagus
karena radio memiliki komunitas yang rigid.
Apalagi, jika
komunitas selama ini lebih diorganisasi secara modern dengan
memanfaatkan jejaring sosial, dampaknya akan spektakuler. Sekadar
catatan, CRI merupakan angka yang menunjukkan efektivitas iklan dilihat
dari respons audien. CRI merupakan hasil perkalian antara angka yang
biasa dalam unsur marketing seperti attention, interest, desire, action
yang diberikan audien setelah melihat dan mendengar iklan.
Terobosan
yang efektif untuk merebut kembali potensi alami industri radio bisa
melalui disruptif ads lokal. Pada prinsipnya, advertising atau
periklanan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan komunikator
secara nonpersonal melalui media kepada komunikan dengan cara membayar.
Difinisi
Menurut
Dunn dan Barban, iklan adalah bentuk kegiatan komunikasi nonpersonal
yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang/time yang dipakainya
untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk konsumen. Ini dilakukan
perusahaan, lembaga nonkomersial, maupun pribadi. Iklan semestinya
merupakan pesan yang efektif agar mampu menggerakkan khalayak sehingga
mereka mengikuti.
Sebenarnya, iklan juga cerminan dari
kebudayaan masyarakat. Tren mengangkat iklan bertema budaya dan
lokalitas keindonesiaan akan terus berlanjut. Beberapa perusahaan
multinasional dan nasional di masa depan akan terus mengangkat konten
iklan yang bersifat lokal. Di sisi lain, eksistensi radio siaran yang
tersebar di seluruh negeri sebetulnya memiliki tugas mengangkat
nilai-nilai lokal.
Dalam konteks media baru, kaidahkaidah
advertising telah dijungkirbalikkan. Produk periklanan yang dipasang
pada media konvensional yang dulu dianggap tepat, ternyata dalam media
baru justru bertolak belakang. Fenomena tersebut terlihat pada Adsense
Google yang mampu menyesuaikan iklan dengan konten. Dengan demikian, ada
mekanisme yang menunjukkan iklan hanya kepada orang-orang yang paling
relevan, misalnya konten tentang wisata Bandung.
Maka, di
sebelah konten tersebut akan muncul sederet iklan terkait, seperti
hotel, jasa perjalanan, dan lain-lain. Inilah yang dinamakan faktor
"relevansi." Ironisnya dalam media konvensional faktor relevansi justru
menjadi masalah tersendiri. Jadi, iklan telah berubah saat bergerak ke
media baru (online).
Faktor relevansi telah menjadi topik
bahasan yang hangat bagi para profesional radio di Eropa dan Amerika.
Dengan menyertakan faktor relevansi, iklan mampu mengambil ceruk pasar
tingkat kabupaten atau kota. Raksasa korporasi seperti Google atau Yahoo
pun tidak mampu mengambil ceruk tersebut karena kekurangan personel,
masalah geografis dan kebudayaan.
Hingga kini, penanganan ceruk
pasar tingkat kabupaten/kota oleh media cetak dan televisi belum efektif
karena mahal dan berbelit-belit. Dengan inovasi tadi, data potensi
radio yang sejalan dengan target pengiklan bisa terwujud. Dengan media
ads daerah yang bersifat long tail economic semua pihak bisa
mengiklankan produk dan potensi daerah secara lebih praktis dan
mengglobal.
Apalagi di era sekarang, produk dan jasa yang sangat
spesifik dapat diiklankan secara menarik, murah, dan efektif. Teori
long tail menyatakan bahwa dengan melayani pasar minoritas, membuat dan
menyediakan produk (low in demand) yang sesuai secara konsisten akan
dapat meningkatkan keuntungan yang besar dibanding harus bertarung dan
hanya terfokus pada produk yang sudah lebih dulu popular.
Teori
ini sangat relevan bagi dunia ads, khususnya periklanan daerah yang
tengah memilih media yang tepat. Merebut kembali potensi alami industri
radio juga sejalan dengan program UNESCO yang menentukan Hari Radio
Sedunia setiap 13 Februari. UNESCO menekankan bahwa unsur kunci radio
adalah akses dan partisipasi. Akses berarti semua pihak memunyai peluang
yang sama untuk menerima siaran, sedangkan partisipasi berarti
pendengar secara aktif terlibat dalam manajemen dan produksi siaran
radio.
Oleh: Hemat Dwi Nuryano
Penulis CEO Zamrud Technology, alumnus UPS Toulouse Prancis
Perkembangan internet memang telah mereduksi banyak media-media tradisional yang dulu kita nikmati. Seperti koran sudah banyak yang mengantinya dengan e-paper, radio dan televisi juga. kita tidak perlu menggunakan media penerimanya cukup dengan adanya koneksi internet maka kita bisa melakukan streaming pada e-radio atau e-tv. Fenomena ini tidak terlepas dari perkembangan media yang sudah bergeser dari media konvensional ke media yang berbasis internet dan hal ini tidak lepas dari kemudahan akses internet saat ini.
Untuk mengakses radio-radio internet tersebut juga sangat mudah, radio internet ini bisa didengarkan melalui melalui webcast, winamp, i-tunes ataupun windows media player. Untuk yang bisa diputar di winamp bisa langsung klik url-nya atau salin url dan tambah url di playlist. Namun ada beberapa stasiun yang mengharuskan pengguna menginstal aplikasi RealPlayer di komputernya. Hampir semua stasiun sudah memiliki layanan streaming ini dan juga ada beberapa radio internet berbasis komunitas online di twitter juga di facebook.
Dalam perkembangan sekarang lebih ke arah teknologi fasilitas penerimnya seperti Blackberry, Android dan sistem lainya
Topfm951 Bumiayu Streaming AAC 2
Topfm951 Bumiayu Streaming Mono 1
Topfm951 Bumiayu Streaming Mono 2
Android
Blackberry
OPERATOR
1. Menyalakan & mematikan peralatan siaran sesuai prosedur.
2. Wajib untuk menerima / handle telephone
3. Mengingatkan penyiar untuk memutar slot iklan jangan sampai melewati waktu yang sudah di jadwalkan serta quiz, insert, reportase, dll, harus tepat waktu.
4. Mencatat semua peserta quiz dan pemenangnya.
5. Mencatat dan segera melaporkan kepada Production Manager bila ada peralatan / sarana yang rusak untuk segera di perbaiki.
6. Operator bertanggung jawab pada pelaksanaan tugas penyiar apakah iklan, quiz, wawancara, reportase, atau semua tugas pada log iklan sudah di selesaikan secara benar atau tidak.
7. Membantu penyiar untuk segera melaksanakan pekerjaan – pekerjaan terutama yang tercantum pada log siar / iklan secara benar dan tepat waktu.
8. Melaporkan pada Station Manager untuk para announcer yang tidak bisa bekerja sama dan tidak melaksanakan pekerjaan – pekerjaan yang tercantum pada log iklan.
9. Melayani tamu / fans yang dating di luar jam kantor & melarang siapapun kecuali penyiar yang bertugas untuk berada di dalam ruang siaran.
10. Bila meninggalkan meja tugas harap koordinasi dengan penyiar atau rekan kerja yang ada ada untuk menggantikan sementara tugasnya terutama menghandle telephone masuk.
11. Memeriksa, menjaga dan memelihara semua peralatan penunjang siaran dengan membersihkan Head Tape seminggu sekali dan menugaskan Office boy untuk membersihkan debu – debu yang menempel di peralatan studio.
12. Pertukaran jadwal tugas di batasi hanya 2x perbulan & harus di laporkan ke Production Manager.
13. Bila terjadi permasalahan dengan computer siaran dan tidak dapat mengatasinya, segera menghubungi Station Manager.
14. Bila terjadi kerusakan pada pemancar sehingga tidak dapat On Air, maka langkahnya adalah segera menghubungi Station Manager bila tidak ada maka baru menghubungi Direktur Utama.
1. Menyalakan & mematikan peralatan siaran sesuai prosedur.
2. Wajib untuk menerima / handle telephone
3. Mengingatkan penyiar untuk memutar slot iklan jangan sampai melewati waktu yang sudah di jadwalkan serta quiz, insert, reportase, dll, harus tepat waktu.
4. Mencatat semua peserta quiz dan pemenangnya.
5. Mencatat dan segera melaporkan kepada Production Manager bila ada peralatan / sarana yang rusak untuk segera di perbaiki.
6. Operator bertanggung jawab pada pelaksanaan tugas penyiar apakah iklan, quiz, wawancara, reportase, atau semua tugas pada log iklan sudah di selesaikan secara benar atau tidak.
7. Membantu penyiar untuk segera melaksanakan pekerjaan – pekerjaan terutama yang tercantum pada log siar / iklan secara benar dan tepat waktu.
8. Melaporkan pada Station Manager untuk para announcer yang tidak bisa bekerja sama dan tidak melaksanakan pekerjaan – pekerjaan yang tercantum pada log iklan.
9. Melayani tamu / fans yang dating di luar jam kantor & melarang siapapun kecuali penyiar yang bertugas untuk berada di dalam ruang siaran.
10. Bila meninggalkan meja tugas harap koordinasi dengan penyiar atau rekan kerja yang ada ada untuk menggantikan sementara tugasnya terutama menghandle telephone masuk.
11. Memeriksa, menjaga dan memelihara semua peralatan penunjang siaran dengan membersihkan Head Tape seminggu sekali dan menugaskan Office boy untuk membersihkan debu – debu yang menempel di peralatan studio.
12. Pertukaran jadwal tugas di batasi hanya 2x perbulan & harus di laporkan ke Production Manager.
13. Bila terjadi permasalahan dengan computer siaran dan tidak dapat mengatasinya, segera menghubungi Station Manager.
14. Bila terjadi kerusakan pada pemancar sehingga tidak dapat On Air, maka langkahnya adalah segera menghubungi Station Manager bila tidak ada maka baru menghubungi Direktur Utama.
PENGHINAAN atau pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam
KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal-Pasal Penghinaan
Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Kasus
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1. Berita Buana, 4 November 1989
>>Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
>>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti
kebenaran informasi
>>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
2. Pos Kota, Juni 1990
>>Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
diralat
>>Hasil akhir: bebas
3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
>>Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
Berebut Janda
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
tidak konfirmasi
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
>>Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
>>Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
>>Hasil akhir: tidak jelas
5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
>>Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
>>Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
menyenangkan
>>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
>>Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
7. Tajuk, 23 Juni 1999
>>Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
>>Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
>>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
>>Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
>>Hasil akhir: tidak jelas.*(dewanpers.org).*
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam
KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal-Pasal Penghinaan
Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Kasus
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1. Berita Buana, 4 November 1989
>>Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
>>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti
kebenaran informasi
>>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
2. Pos Kota, Juni 1990
>>Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
diralat
>>Hasil akhir: bebas
3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
>>Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
Berebut Janda
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
tidak konfirmasi
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
>>Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
>>Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
>>Hasil akhir: tidak jelas
5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
>>Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
>>Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
menyenangkan
>>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
>>Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
7. Tajuk, 23 Juni 1999
>>Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
>>Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
>>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
>>Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
>>Hasil akhir: tidak jelas.*(dewanpers.org).*