Post info

Taq : , ,


Comments 0


Author: dispa

Radio siaran di negeri ini telah kehilangan potensi alami sebagai media sosial yang paling merakyat. Radio juga menjadi media advertising yang efektif dan ujung tombak industri musik. Fungsi atau peran-peran tersebut sebaiknya direbut kembali dengan kekuatan kolaboratif. Negara besar seperti Prancis saat ini masih menempatkan radio sebagai media paling dipercaya dibanding TV dan internet.

Menurut Asosiasi Perusahaan Periklanan Indonesia, belanja iklan 2013 diperkirakan mencapai 113 triliun rupiah atau meningkat 18 persen dibanding realisasi 2012 senilai 92 triliun rupiah. Pendapatan radio dunia tujuh persen dari total iklan mondial. Untuk itu, Indonesia perlu meningkatkan pendapatannya agar setidaknya mencapai tujuh persen dari belanja iklan nasional.

Sementara itu, belanja iklan Amerika periode 2009-2015 dari e-Marketer rata-rata mencapai 10 persen dari belanja nasional. Di sisi lain, menurut AC Nielsen, pendapatan tahun 2011 Indonesia hanya 0,9 persen. Industri radio negeri ini perlu mengakselerasi lebih tinggi lagi pendapatannya. Kalau mau sama atau mendekati dengan Amerika, berarti ada peluang meningkatkan 10 kali lipat.

Bisnis radio dari aspek advertising (ads) dari on air menurut e-Marketer, pada 2011 sekitar 0,9 persen dari total belanja iklan nasional sekitar 71,5 triliun rupiah, sedangkan pada 2012, persentasenya sama dari total dana iklan 90 triliun rupiah. Tahun ini ada proyeksi iklan 113 triliun rupiah. Andai insan radio tidak proaktif, diperkirakan penghasilannya tidak akan beranjak.

Radio harus belajar dari Google yang mampu meraup pendapatan 50 miliar dollar AS. Begitu pula saham Google melonjak lebih dari lima persen karena mendominasi pasar iklan digital AS. Untuk itu, penting dicari inovasi dari sekadar model bisnis konvensional dari musik dan ads, selain on air. Harus ditemukan the winning formula agar mampu meningkatkan pendapatan.

Jadi, formulanya tidak boleh biasabiasa saja, mesti spektakauler. Sebab kondisi psikososial masyarakat saat ini selalu menunggu kejutan-kejutan. Formula yang tepat bersifat cheaper than free yang bisa "mengalahkan" ilegal musik. Formula tersebut harus memiliki aspek customer response index (CRI) yang bagus karena radio memiliki komunitas yang rigid.

Apalagi, jika komunitas selama ini lebih diorganisasi secara modern dengan memanfaatkan jejaring sosial, dampaknya akan spektakuler. Sekadar catatan, CRI merupakan angka yang menunjukkan efektivitas iklan dilihat dari respons audien. CRI merupakan hasil perkalian antara angka yang biasa dalam unsur marketing seperti attention, interest, desire, action yang diberikan audien setelah melihat dan mendengar iklan.

Terobosan yang efektif untuk merebut kembali potensi alami industri radio bisa melalui disruptif ads lokal. Pada prinsipnya, advertising atau periklanan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan komunikator secara nonpersonal melalui media kepada komunikan dengan cara membayar.

Difinisi
Menurut Dunn dan Barban, iklan adalah bentuk kegiatan komunikasi nonpersonal yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang/time yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk konsumen. Ini dilakukan perusahaan, lembaga nonkomersial, maupun pribadi. Iklan semestinya merupakan pesan yang efektif agar mampu menggerakkan khalayak sehingga mereka mengikuti.

Sebenarnya, iklan juga cerminan dari kebudayaan masyarakat. Tren mengangkat iklan bertema budaya dan lokalitas keindonesiaan akan terus berlanjut. Beberapa perusahaan multinasional dan nasional di masa depan akan terus mengangkat konten iklan yang bersifat lokal. Di sisi lain, eksistensi radio siaran yang tersebar di seluruh negeri sebetulnya memiliki tugas mengangkat nilai-nilai lokal.

Dalam konteks media baru, kaidahkaidah advertising telah dijungkirbalikkan. Produk periklanan yang dipasang pada media konvensional yang dulu dianggap tepat, ternyata dalam media baru justru bertolak belakang. Fenomena tersebut terlihat pada Adsense Google yang mampu menyesuaikan iklan dengan konten. Dengan demikian, ada mekanisme yang menunjukkan iklan hanya kepada orang-orang yang paling relevan, misalnya konten tentang wisata Bandung.

Maka, di sebelah konten tersebut akan muncul sederet iklan terkait, seperti hotel, jasa perjalanan, dan lain-lain. Inilah yang dinamakan faktor "relevansi." Ironisnya dalam media konvensional faktor relevansi justru menjadi masalah tersendiri. Jadi, iklan telah berubah saat bergerak ke media baru (online).

Faktor relevansi telah menjadi topik bahasan yang hangat bagi para profesional radio di Eropa dan Amerika. Dengan menyertakan faktor relevansi, iklan mampu mengambil ceruk pasar tingkat kabupaten atau kota. Raksasa korporasi seperti Google atau Yahoo pun tidak mampu mengambil ceruk tersebut karena kekurangan personel, masalah geografis dan kebudayaan.

Hingga kini, penanganan ceruk pasar tingkat kabupaten/kota oleh media cetak dan televisi belum efektif karena mahal dan berbelit-belit. Dengan inovasi tadi, data potensi radio yang sejalan dengan target pengiklan bisa terwujud. Dengan media ads daerah yang bersifat long tail economic semua pihak bisa mengiklankan produk dan potensi daerah secara lebih praktis dan mengglobal.

Apalagi di era sekarang, produk dan jasa yang sangat spesifik dapat diiklankan secara menarik, murah, dan efektif. Teori long tail menyatakan bahwa dengan melayani pasar minoritas, membuat dan menyediakan produk (low in demand) yang sesuai secara konsisten akan dapat meningkatkan keuntungan yang besar dibanding harus bertarung dan hanya terfokus pada produk yang sudah lebih dulu popular.

Teori ini sangat relevan bagi dunia ads, khususnya periklanan daerah yang tengah memilih media yang tepat. Merebut kembali potensi alami industri radio juga sejalan dengan program UNESCO yang menentukan Hari Radio Sedunia setiap 13 Februari. UNESCO menekankan bahwa unsur kunci radio adalah akses dan partisipasi. Akses berarti semua pihak memunyai peluang yang sama untuk menerima siaran, sedangkan partisipasi berarti pendengar secara aktif terlibat dalam manajemen dan produksi siaran radio.

Oleh: Hemat Dwi Nuryano
Penulis CEO Zamrud Technology, alumnus UPS Toulouse Prancis

0 Komentar:


Posting Komentar

kirimkan pesan anda